Sabu Raijua adalah kabupaten ke-21 dan paling bungsu di Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini. Terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2008 pada 26 Nopember 2008, Sabu Raijua merupakan pemekaran dari Kabupaten Kupang.
Sabu Raijua merupakan Kabupaten paling Selatan di wilayah NKRI. Potensi pariwisata di Kabupaten ini sungguh menakjubkan. Baik wisata alam, wisata bahari dan wisata budaya semuanya ada di Sabu Raijua. Bahkan, hingga kini, masih ada agama suku (Jingitiu, sebutan agama suku) yang masih dianut oleh masyarakat Sabu Raijua.
Ir. Marthen Luter Dira Tome dan Drs. Nikodemus Rihi Heke, M.Si adalah Bupati dan Wakil Bupati pertama di Kabupaten Sabu Raijua. Keduanya dipercayakan oleh mayoritas pemilih di Kabupaten Sabu Raijua pada Pilkada pertama di kabupaten itu setahun silam. Meski masih “balita” Kabupaten Sabu Raijua kini tengah bergeliat dalam pembangunan menuju Kabupaten yang inovatif, maju dan bermartabat.
Dalam sebuah pertemuan di Menia, Ibukota Sabu Raijua belum lama ini, Bupati Sabu Raijua, Ir. Marthen Luter Dira Tome, mengatakan, visi besar yang diembannya ketika dipercaya mayoritas masyarakat yang mendiami negeri sejuta lontar itu adalah mewujudkan Sabu Raijua sebagai Kabupaten yang inovatif, maju, dan bermartabat.
Dalam setiap kesempatan bertatap muka dengan masyarakat, misi selalu digelorakan sang Bupati. Ia selalu memotivasi masyarakat agar misi bisa tercapai melalui berbagai Program Pembangunan Berbasis Masyarakat (People Based Development Programs).
Menurutnya, visi dan misi ini merupakan kekuatan moral yang memberikan motivasi, mendorong dan memberi arah kepada pencapaian cita-cita untuk mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat Sabu Raijua.
Di sisi lain, guna mempercepat proses pertumbuhan ekonomi rakyat dan peningkatan pendapatan sesuai dengan sumber daya yang ada di Sabu Raijua dan yang dapat didatangkan dari luar, Dira Tome memiliki strategi lainnya. Setidaknya ada 3 (tiga) program utama yang dijadikan prioritas, yaitu penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi masyarakat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, dan peningkatan pendidikan.
Sabu Sebagai Kota Para Dewa
Jika Bali dikenal di seantero dunia sebagai pulau dewata, maka Sabu Raijua bakal dikenal sebagai kota para dewa.Itu bukan sekedar impian. Pasalnya, kepercayaan terhadap pengaruh para dewa di Sabu Raijua hingga kini masih ada dan terpelihara sejak turun temurun. Kepercayaan terhadap pengaruh para dewa terhdapa keberlangsungan hidup orang Sabu Raijua dikenal dengan agama suku atau “Jingitiu”.
Bahkan aliran Jingitiu telah diakui semua kalangan si Sabu Raijua sebagai aliran kepercayaan yang resmi. Dalam setiap kesempatan yang ritual aliran Jingitiu, kelompok ini menghadirkan para dewa.
Kaum Jingitiu mengakui adanya kekuatan dari para dewa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupannya. Kaum ini juga meyakini dengan sesungguhnya bahwa ada kehidupan setelah kematian. “Saya selalu mengatakan bahwa jika Bali dikenal sebagi pulau dewata maka Sabu adalah Kota para dewa,” kata Bupati Dira Tome.
Optimisme itu bukan muncul tiba-tiba namun lahir karena keberadaan aliran Jingitiu dengan berbagi upacara dan ritual untuk menghadirkan para dewa. “Mereka dengan songgoh-songgoh-nya dan mereka memanggil para dewa untuk menikmati sesajian. Jika ritual ini dilaksanakan tiap bulan maka para dewa akan datang tiap bulan. Dan itu yang membuat saya termotivasi memelihara dan menjadikan Sabu sebagai Kota para Dewa,” katanya.
Di NTT kata dia, aliran serupa juga ada di Sumba yang disebut Merapu, di Timor ada Boti, dan di Sabu ada Jingitiu. “Ini agama suku yang harus dilindungi. Dira Tome mengatakan, dahulu ketika semua ritual Jingitiu dijalankan dan dipelihara dengan baik, apapun yang diharapkan para tetua adat akan jadi, Ia mencontohkan, jika hujan tak kunjung datang maka mereka lakukan ritual untuk memanggil hujan, dan akan datang hujan.
Saat ini, aliran Jingitiu kurang dilindungi dan difasilitasi oleh pemerintah dan elemen masyarakat lain. Bahkan, di tengah persoalan kemiskinan dan keterbatasan yang dialami para penganut Jingitiu akan berdampak pada lunturnya daya magis dari sebuah ritual.
Hingga kini, jumlah masyarakat Sabu Raijua yang menganut aliran Jingitiu semakin berkurang. Diperkirakan sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Sabu Raijua. Hal itu, menurut Dira Tome lantaran ada kebijakan masa lalu yang keliru. Selain itu, ada kegiatan upacara adat yang tidak bisa diabaikan karena aliran Jingitiu penuh dengan ritual dan prosesi adat. Bahkan, dari bulan ke bulan ada ritual yang wajib dilakukan oleh kepercayaan Jingitiu.
Bagi Dira Tome, melestarikan budaya termasuk memelihara aliran Jingitiu di Sabu merupakan ciri orang bermartabat . Langkah perlindungan yang ditempuh itu selain sebagai tujuan promosi pariwisata budaya juga untuk memberikan perlindungan dan penghormatan kepada agama suku ini agar tetap ada.